Pelanggan berbelanja di supermarket Hero di Jakarta pada 6 April 2023.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyampaikan kekhawatirannya terhadap keputusan pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada tahun 2025, dan memperingatkan bahwa hal tersebut akan memberikan tekanan yang signifikan terhadap perekonomian. Kebijakan ini dilakukan di saat perekonomian nasional masih dalam proses pemulihan dampak pandemi COVID-19.
“Kebijakan kenaikan tarif PPN perlu dipertimbangkan kembali karena akan menjadi disinsentif fiskal, sehingga memberikan tekanan pada perekonomian yang sedang mengalami tren pemulihan positif. Pemerintah memiliki fleksibilitas untuk melakukan penyesuaian, tergantung pada kemauan dan orientasi kebijakan fiskal,” kata Analis Kebijakan Ekonomi Apindo Ajib Hamdani, Rabu.
Sesuai Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), tarif PPN sebesar 12 persen rencananya mulai berlaku paling lambat 1 Januari 2025.
Namun, pemerintah juga mempunyai opsi untuk menyesuaikan waktu atau menunda kenaikan tersebut, serupa dengan penyesuaian yang dilakukan terhadap kebijakan pajak karbon meskipun diatur dalam Pasal 13 UU HPP.
“Realitas dan kondisi perekonomian dapat menjadi pertimbangan dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan,” jelas Ajib.
Pada APBN 2023, penerimaan PPN dan pajak barang mewah mencapai sekitar Rp 764 triliun.
“Jika pemerintah menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen, maka penerimaan PPN bisa meningkat sekitar Rp 80 triliun pada tahun 2025, dengan asumsi pertumbuhan ekonomi sekitar 5 persen dan inflasi sekitar 2 persen pada tahun 2024 dan 2025,” kata Ajib.
Kenaikan PPN akan berdampak pada perekonomian nasional dalam dua cara utama: berdampak pada dunia usaha dan daya beli konsumen. PPN adalah pajak yang dikenakan pada konsumen akhir, yang berdampak luas pada masyarakat umum dan memberikan tekanan pada daya beli mereka.
Sebaliknya, jika kenaikan tarif PPN diserap oleh dunia usaha ke dalam harga pokok penjualan, hal ini dapat menurunkan keuntungan perusahaan dan menimbulkan sentimen negatif terhadap perkembangan usaha, tambah Ajib.
Pemerintah sebaiknya fokus pada skala prioritas penerimaan negara yang lebih luas, antara lain pajak, cukai, penerimaan negara bukan pajak, dan optimalisasi dividen dari badan usaha milik negara.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah terus berupaya meningkatkan penerimaan pajak. Pada tahun 2025, di bawah kepemimpinan Presiden terpilih Prabowo Subianto, tarif PPN sebesar 12 persen diharapkan dapat diresmikan dalam APBN tahun 2025.
Ahmad Heri Firdaus, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), mengatakan jika PPN resmi menjadi 12 persen, maka itu akan menjadi yang tertinggi di Asia Tenggara.
“Ini akan menjadi yang tertinggi, apalagi dengan skema tarif tunggal yang tentunya akan membebani konsumen yang menghabiskan 95 persen pendapatannya untuk kebutuhan pokok,” komentar Ahmad pada Maret lalu.
Saat ini negara Asia Tenggara dengan PPN tertinggi adalah Filipina sebesar 12 persen. Negara lain, seperti Kamboja dan Laos, mengenakan PPN sebesar 10 persen, sedangkan Vietnam menerapkan sistem dua tingkat dengan tarif 10 persen dan 5 persen. Malaysia menggunakan sistem Pajak Barang dan Jasa (GST) sebesar 6 persen.